Merenung Kisah Cinta Beda Iman
Aku tak mengerti mengapa kita harus berjumpa. Mungkin ini sebagai konsekuensi dari adaku yang selalu dimengerti sebagai ada bersama orang lain, esse est cooesse. Orang lain itu tentu banyak. Namun mengapa harus engkau yang kujumpai? Suatu perjumpaan yang menyimpan rindu dan gelora asmara dalam dada.
Aku adalah pribadi yang otonom. Berdiri dengan kekuatan sendiri meski sadar aku tak pernah sendiri. Diriku yang riil tak pernah lepas dari persoalan. Berjuang hadapi sendiri tetapi ketakberdayaan menjemputku hingga aku harus menjerit, berteriak dan pecahlah kesunyian hatiku. Namun aku tetaplah aku dengan segala yang ada padaku, hingga kusimpulkan aku bukan engkau dan bukan pula dia.
Aku tak dapat mengingkari diri dari pengalaman perjumpaanku dengan pribadi yang kusebut engkau. Engkau itu ternyata lain dari yang lain yang kutemui. Engkau menebarkan pesona sampai aku terpesona. Namun aku masih tetap sadar bahwa aku bukan orang yang mudah engkau kalahkan. Aku sadar jika aku juga mempunyai daya pikat sehingga engkau mengungkapkan sebongkah nada hatimu padaku, dan kusambut itu dengan ketulusan dan sucinya hatiku.
Awalnya memang aku masih belum mengerti apa yang ada diantara kami. Aku mencoba menelusurinya lebih jauh. Aku menemukan rasa yang teramat sulit untuk kuungkapkan. Rasa itu melekat erat dalam diriku. Aku berpikir dan merasa bahwa kita tidak boleh berpisah. Namun, kenyataan berbicara lain. Engkau dan aku memiliki perbedaan yang tak mungkin disatukan. Kadang aku berpikir mungkin perbedaanlah yang membuat kita saling memikat. Dapatkah kita satu dalam keanekaan? Ataukah keanekaan ini memaksakan kita untuk berpisah? Serentetan pertanyaan berkecamuk dalam jiwaku, membuat aku sulit untuk mengambil keputusan. Aku terus bergulat dengan pikiranku sendiri antara menolak atau meneruskan cinta yang tengah bersemi dalam hati.
Pada suatu kesempatan pernah kuputuskan untuk meninggalkannya dan aku pun mencoba untuk melepaskan diri dari keterikatan batinku padanya. Aku sadar bahwa keputusanku adalah sebuah keterpaksaan. Semuanya karena didominasi oleh rasa religiositas pribadi yang didukung oleh suara lingkungan tempat aku berpijak. Aku takut dinilai keliru meski nuraniku berbisik bahwa itu bukan kesalahan. Aku tak tahu harus bagaimana lagi selain aku mengambil keputusan untuk meninggalkannya walau jiwaku bergulat sesak.
Kini aku membuat kisah baru. Lembaran baru pun kubuka. Aku menjalin kasih dengan pribadi yang kusebut ’dia’. Dia menaruh minat dan perhatian padaku. Hari-hari kulalui bersamanya. Rasanya dia tak terlalu mendapat tempat di hatiku walaupuj dia dan aku mempunyai latar keyakinan yang sama. Dia hanyalah sebagai daerah pelimpahan rasa kangenku pada pribadi yang kusapa ’engkau’. Aku sendiri tak dapat mengingkari kenyataan itu. Sesungguhnya aku memiliki rasa rinduku padanya dan betapa aku ingin kembali kepadanya. Aku tak tahu harus bagaimana? Meninggalkan dia yang sekarang, itu berarti menamkan luka dalam batinnya. Kembali kepada engkau yang dulu, yang pernah aku tinggalkan artinya aku harus rendah hati untuk mengungkapkan maaf. Tetapi apakah dia bisa menerimaku kembali? Ah... Tuhan apa yang harus aku lakukan, tunjukkan jalanMu bagiku.
Kini aku hidup dalam angan-angan. Wacana pengandaian pun kubuka. Seandainya dia tidak menerimaku kembali, mungkin aku harus bersikap realistis meski berat. Tetapi seandainya dia menerimaku kembali aku tentu bersyukur. Namun, apakah aku harus meninggalkan rasa relogiositas pribadiku dan menikmati rasa religiositasnya supaya kami sekeyakinan, sepaham dan sekonsep? Bila kuputuskan hal itu artinya aku harus menanggung cercaan dan hinaan dari seluruh kerabat keluarga. Kalaupun kami tetap mempertahankan keyakinan kami masing-masing, apakah seluruh keluarga dan lingkungan menerima keputusan kami?
Seandainya Tuhan punya kehendak lain dimana kami harus bersatu dan tak ada lagi yang sanggup memisahkan kami, itu berarti kami membangun institusi baru yang orang sebut keluarga. Bagaimana dengan anak-anak kami yang akan dilahirkan.? Pendidikan apa yang harus kami berikan? Memang kebanyakan orang pada masyarakat tradisional khususnya di kawasan Asia dan Afrika, agama menjadi dasar pijakan dalam pendidikan. Dan, kenyataan menunjukkan bahwa benih kejahatan banyak dihasilkan juga oleh bangsa-bangsa Asia yang dinilai sebagai benua yang menghasilkan agama-agama besar di dunia ini.
Aku memang memiliki keyakinan bahwa setiap agama mengajarkan tentang kebaikan. Dan dalam setiap agama ada benih sabda Ilahi. Ini tentu bukan relativisme agama sebab setiap agama tentu berbeda. Dalam pengamatan, agama untuk konteks masyarakat di mana aku berada adalah agama keturunan artinya agama diwariskan oleh orangtua kepada anak.
Lantas agama apa yang kami wariskan kepada anak-anak kami? Nuraniku berbisik bahwa ego setiap pribadi harus ditanggalkan artinya tak ada pemaksaan kehendak terutama pada saat anak beranjak dewasa. Keputusan bebas seorang anak harus dihargai. Saling memberikan pemahaman tanpa berpretensi menghina atau meremehkan agama yang lain mesti punya tempat yang luas. Orang yang hidup dalam cinta pasti selalu memiliki jalan menuju kebahagiaan atau kebaikan bersama, bonum commune. Di sini agama mesti bersifat inklusif dan bukannya eksklusif. Konsep ini tentu harus menjadi konsep dan komitmen bersama, suami istri, aku dan engkau.
Kutahu ini bukanlah hal yang mudah. Keteguhan mental spiritual diandalkan dan wawasan luas yang kokoh kuat dipertaruhkan. Apakah aku sanggup? Tentu aku tidak bisa hidup terus dalam pengandaian dengan berbagai pertanyaan penuh pergumulan. Aku mesti berani memulai. Sebab, perjalanan yang jauh sekalipun tetap dimulai dengan sebuah langkah. Aku mesti mencoba kembali dan menjalin relasi untuk saling mengenal lebih jauh sebelum mengambil keputusan yang final. Jika ini kehendak Tuhan, pasti ia akan bertahan. Tetapi jika tidak, lambat laun ia akan berakhir dengan sendirinya. Ya....jalani saja hidup ini dengan kesetiaan. Setiap kekalahan mengandung janji kemenangan dan setiap kegagalan selalu menggandeng kesuksesan.
0 Response to "Merenung Kisah Cinta Beda Iman"
Posting Komentar