Mendalami Kekhasan Agama Kristen Protestan
Agama Kristen Protestan merupakan salah satu agama yang diakui keberadaannya di Indonesia. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama Kristen Protestan juga memiliki andil tersendiri dalam menciptakan keutuhan bangsa. Mungkin masih banyak orang yang penasaran mengapa bisa muncul agama Kristen Protestan yang merupakan buah dari perpecahan dalam tubuh Gereja sendiri.
Pada kesempatan ini akan dibahas secara tuntas berkaitan dengan sejarah singkat pemisahan Gereja, rekasi Gereja Katolik serta upaya yang dilakukan untuk persatuan antar sesama Gereja Kristus. Menelusuri sejarah perpecahan dalam tubuh Gereja tentu saja bukan untuk mengorek luka lama sekaligus mengobarkan api kemarahan atau pun kebencian melainkan untuk melihat kenyataan agar bisa menjadi pelajaran bersama untuk kebaikan bersama pula.
Selain itu, artikel sederhana ini juga akan memenuhi rasa penasaran orang yang belum mengerti atau belum paham mengapa terjadi perpecahan dalam Gereja. Tentu di sini, sekali lagi bukan untuk mencari kambing hitam sekaligus menghakiminya secara kejam melainkan untuk membangun kembali benih persaudaraan serta kesadaran yang mendalam bahwa kita semua bernaung di bawah Gereja Kristus.
Sejarah Pemisahan Gereja
Pada abad ke XVI Masehi terjadi dekadensi moral yang terjadi dalam tubuh Gereja. Dekadensi atau kemerosotan moral ini terjadi karena Gereja terlalu banyak terlibat dalam urusan duniawi, dalam hal ini Paus selaku pemimpin Gereja menjadi figur yang paling berkuasa baik dalam urusan kerohanian maupun dalam urusan kenegaraan.
Paus menjadi penguasa tunggal dan mutlak serta cenderung otoriter. Karena itu jabatan Paus menjadi jabatan yang paling diincar oleh banyak orang. Keadaan ini memicu adanya politik uang. Hal ini nyata pada waktu pemilihan Paus Aleksander VI dan Paus Leo IX yang sarat dengan korupsi dan politik uang. Pada masa ini sering terjadi komersialisasi jabatan dalam Gereja. Banyak pejabat Gereja yang tidak melaksanakan tugas kerohanian tetapi lebih banyak menfokuskan diri untuk pemenuhan kebutuhan jasmani atau duniawi.
Selain itu banyak imam atau pastor yang tidak terdidik, tidak mampu berkotbah dengan baik dan juga tidak bisa mengajar umat dan cenderung hedonistis atau mengutamakan kenikmatan duniawi. Selain itu perkembangan iman cenderung bercampur dengan takhayul. Hal-hal yang bersifat duniawi bercampur baur dengan hal yang sakral dan suci serta kegiatan keagamaan dianggap sebagai rutinitas tanpa makna.
Berhadapan dengan keadaan di atas, banyak warga Gereja yang merasa terpanggil untuk menyuarakan kebenaran dan ingin membaharui hidup Gereja. Berikut ini ada beberapa tokoh yang berusaha menyuarakan pembaharuan dalam Gereja, Antara lain:
- Martin Luther: Ia merupakan seorang pastor. Pada mulanya ia mengkritik masalah penjualan indulgensi yakni orang yang bisa menghapus dosanya dengan cara memberikan sejumlah uang kepada Gereja. Kemudian ia membela pandangan barunya tentang sola fide, yakni orang mendapat pembenaran hanya karena iman. Selanjutnya ia mengkritik kekuasaan Paus sekaligus menolak ajaran teologi yang sudah berkembang sebelumnya. Ia hanya ingin berfokus pada Alkitab sesuai dengan tafsiran sendiri. Sebenarnya Martin Luther tidak menghendaki adanya perpecahan dalam Gereja. Namun ia terjebak dalam rasa tidak puas yang sudah menguasai umat pada umumnya yang menghendaki sebuah pembaharuan yang tidak jelas arahnya. Ia juga menyerang umat yang setia kepada Paus dan persatuan Gereja tidak dicari lagi. Para bangsawan yang mendukung Luther tidak berminat untuk menggalang persatuan dalam Gereja karena milik Gereja yang mereka ambil tidak mau mereka kembalikan. Ego masing-masing piha sama sekali menyulitkan persatuan dalam Gereja. Reformasi pun berakhir dan umat terpecah belah ke dalam kelompok-kelompok.
- Yohanes Calvin (1509-1564): Ia ingin membaharui Gereja dalam terang Injil. Menurut Calvin, Gereja memiliki dua dimensi yakni pertama, Gereja sebagai persekutuan orang-orang yang terpilih sejak awal dunia yang hanya dikenal oleh Allah, dan kedua, Gereja adalah kumpulan mereka yang dalam keterbatasannya di dunia mengaku diri sebagai pengikut Kristus dengan ciri pewartaan Injil dan pelayanan sakramen. Baginya pengaturan Gereja ditentukan oleh struktur empat jabatan, yaitu pastor, pengajar,diakon dan penatua.
- Raja Henry VII (1509-1547): Ia merupakan raja Inggris yang menobatkan diri sebagai kepala Gereja. Hal ini dilakukannya sebabagai reaksi atas penolakan perceraiannya. Gerekan ini yang menjadi awal munculnya Gereja Anglikan. Gerakan ini juga mendapat pengaruh dari gerakan reformasi Gereja pada umumnya yang terjadi pada masa itu. Meski demikian, Gereja Anglikan masih mempertahankan beberapa kekhasan struktur dalam Gereja seperti Uskup, Imam, dan Diakon.
Menghadapi gerakan reformasi di atas, Gereja Katolik tentu tidak tinggal diam. Gereja Katolik melakukan upaya pembaharuan yang dikenal dengan kontra reformasi atau gerakan pembaharuan Katolik. Gerakan ini diawali dengan mengadakan Konsili Trente pada tahun 1545-1563. Melaluinya Gereja Katolik berusaha mengatasi kesesatan-kesesatan dalam Gereja dan menjaga kemurnian Injil.
Melalui Konsili Gereja Katolik mempertegas posisinya dalam hal-hal yang dikritik dan disangkal oleh pihak Reformasi, yakni berkaitan dengan Kitab Suci dan Tradisi, Penafsiran Kitan Suci, Pembenaran, jumlah sakramen, korban misa, imamat dan tabisan, pembedaan antara imam dan awam. Konsili Trente dan setelanya menekankan Gereja sebagai penjaga iman yang benar dan utuh yang ditandai dengan sakramen-sakramen khusunya Ekaristi yang dipahami dan dirayakan sebagai korban sejati.
Gereja Katolik juga tepat mempertahankan corak hierarkis yang dilengkapi dengan jabatan grejani dan imamat yang mempunyai wewenang khusus dalam merayakan ekaristi dan melayani pengakuan dosa. Gereja juga menjadi tanda yang kelihatan yang jelas dalam lembaga kepausan sebagai puncaknya. Gereja juga mewujudkan diri sebagai persekutuan para kudus lewat penghormatan kepada para kudus dan Gereja menghormati tradisi
Usaha Untuk Bersatu Antara Sesama Gereja Kristus
Upaya Gereja Katolik untuk mempersatukan umat Kristus nyata dalam Konsili Vatikan II sebagaimana yang tertuang dalam dekrit tentang Ekumenisme. Gerakan ekumenis ini merupakan kegiatan dan usaha-usaha yang menanggapi aneka kebutuhan Gereja dan berbagai situasi yang diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat Kristen.
Berikut ini merupakan cara untuk mencapai tujuan ekumene, antara lain:
- Berupaya untuk menghindari kata-kata, penilaian-penilaian, dan tindakan-tindakan yang ditinjau dari sudut keadilan dan kebenaran tidak cocok dengan situasi saudara-dan saudari yang terpisah dan karena itu mempersukar hubungan-hubungan dengan mereka.
- Pertemuan-pertemuan umat Kristen dari berbagai Gereja atau Jemaat diselenggarakan dalam suasana religius, dialog antara para pakar yang kaya informasi, yang memberi ruang kepada setiap peserta untuk secara lebih mendalam menguraikan ajaran persekutuannya.
- Persekutuan-persekutuan menggalang kerja sama yang lingkupnya lebih luas dalam aneka usaha demi menciptakan kesejahteraan umum menurut tuntutan setiap suara hati Kristen; bila mungkin beretemu dalam doa sehati dan sejiwa hingga akhirnya mereka semua mengadakan pemeriksaan batin tentang kesetiaan mereka terhadap kehendak Kristus mengenai Gereja dan menjalankan dengan tekun usaha pembaharuan.
Semoga sajian artikel sederhana ini bisa mencerahkan pemahaman tentang awal perpecahan dalam Gereja. Sekali lagi artikel ini bukan untuk mengorek luka lama yang pernah muncul dalam Gereja melainkan untuk meningkatkan kesadaran akan hidup menggereja dan sebagai bahan pelajaran bersama.
Bahan bacaan yang menjadi rujukan antara lain: Buku Guru Pendidikan Agama Katolik & Budi Pekerti kelas 12, Buku Iman Katolik, Dokumen Konsili Vatikan II serta buku-buku lain yang relevan.
0 Response to "Mendalami Kekhasan Agama Kristen Protestan"
Posting Komentar