Membangun Budaya Kasih dalam Ajaran Katolik
Pendahuluan
Setiap orang tentu saja mendambakan keadaan damai atau suatu keadaan tanpa adanya kekerasan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa setiap individu kadang menjadi pelaku kekerasan entah itu dalam kehidupan berkeluarga, hidup bermasyarakat dan hidup berbangsa dan bernegara.
Pada kesempatan ini saya akan menyajikan salah satu topik tentang bagaimana memperkenalkan budaya kasih di tengah kehidupan yang cenderung melanggengkan kekerasan. Budaya kasih yang mau ditampilkan disini bercermin dari ajaran Gereja Katolik.
Budaya Kasih Sumber gambar: Sarwer e Kainat Welfare dari Pexels |
Aneka Wajah Kekerasan
Namun sebelum itu, saya akan menyampaikan rupa-rupa kekerasan yang terjadi dalam kehidupan. Ada dua bentuk kekerasan, yakni kekerasan langsung dan kekerasan tidak langsung. Kekerasan langsung lebih bersifat fisik dan langsung, seperti pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain. Sedangkan kekerasan tidak langsung lebih bersifat psikis, misalnya kasus gizi buruk sebagai akibat dari ketidakadilan sosial ekonomi yang terjadi dalam masyarakat.
Ada begitu banyak wajah-wajah kekerasan dalam kehidupan manusia antara lain kekerasan sosial, kekerasan kultural, kekerasan etnis, kekerasan keagamaan, kekerasan gender, kekerasan politik, kekerasan militer, kekerasan terhadap anak-anak, kekerasan ekonomi dan kekerasan lingkungan hidup.
Model atau bentuk-bentuk kekerasan di atas tentu membawa dampak buruk pada nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu perlu dilakukan tindakan agar kekerasan yang telah terjadi tidak terulang kembali, yaitu dengan membangun budaya kasih.
Pertanyaannya adalah seperti apakah bentuk budaya kasih itu? Jawaban atas pertanyaan ini termuat dalam Injil Matius 26: 47-56. Berikut kutipannya:
Waktu Yesus masih berbicara datanglah Yudas, salah seorang dari kedua belas murid itu, dan bersama-sama dia serombongan besar orang yang membawa pedang dan pentung, disuruh oleh imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi. Orangyang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: “Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia”. Dan segera ia maju mendapatkan Yesus dan berkata: “Salam Rabi”, lalu mencium Dia. Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Hai sahabat, untuk itulah engkau datang?” Maka majulah mereka memegang Yesus dan menangkap-Nya. Tetapi seorang dari mereka yang menyertai Yesus mengulurkan tangannya, menghunus pedangnya dan menetakkannya kepada hamba Imam Besar sehingga putuslah telinganya. Maka kata Yesus kepadanya: “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang. Atau kau sangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku? Jika begitu, bagaimanakah akan digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan, bahwa harus terjadi demikian?” Pada saat itu Yesus berkata kepada orang banyak: “Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung untuk menangkap Aku? Padahal tiap-tiap hari Aku duduk mengajar di Bait Allah, dan kamu tidak menangkap Aku. Akan tetapi semua ini terjadi supaya genap yang ada tertulis dalam kitab nabi-nabi”. Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri.
Dalam Injil ini, Yesus bukan saja mengajak semua orang untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh. Tetapi malah Yesus tetap menunjukkan sikap cinta dan kasih kepada musuh.
Apa yang dilakukan Yesus ini memang sangat radikal dan bertolak belakang dengan kebiasaan dan keyakinan "gigi ganti gigi atau mata ganti mata". Ini hanya mau menunjukkan bahwa kasih kristiani melampaui kasih manusiawi, kasih kristiani menjangkau semua orang bahkan musuh sekali pun.
Pijakan utama dari kasih ini adalah keyakinan bahwa semua orang adalah putera dan puteri Allah, Bapa di Surga. Untuk mengembangkan budaya kasih ini sangatlah sulit. Dalam kehidupan tidaklah mudah mencintai atau berbuat baik kepada orang yang sudah melukai kita.
Namun apabila sungguh hidup di dalam Kristus maka sesungguhnya kita akan menjadi pembawa damai dan hidup tanpa memperhitungkan kesalahan yang sudah orang lain lakukan terhadap kita. Iman akan Yesus ini menjadikan kita menjadi sebagai pembawa damai dalam semua bentuk perselisihan.
Demikian penjelasan singkat tentang membangun budaya kasih dalam ajaran katolik. Semoga bermanfaat bagi para guru agama katolik dan peserta didik kelas sebelas yang ingin mendalami pelajaran agama katolik.
0 Response to "Membangun Budaya Kasih dalam Ajaran Katolik"
Posting Komentar