Kasih Itu Lintas Batas
Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial kehidupan manusia dipahami sebagai ada bersama orang lain. Tidak ada manusia di dunia ini yang hidupnya terpisah dengan orang lain. Dengan kata lain manusia selalu berelasi dengan orang lain di luar dirinya. Dalam berelasi atau menjalin hubungan dengan sesama dan alam ciptaan lainnya, manusia tentu menggunakan akal budi serta kehendak bebasnya. Akal budi dan kehendak bebas inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling luhur dari semua ciptaan lainnya.
Namun dalam berelasi dengan sesamanya, ego pribadi serta kelompok seringkali lebih diutamakan. Ketika muncul perbedaan etnik, budaya, agama, bahkan perbedaan pendapat, ada hasrat atau keinginan untuk memaksakan kehendak. Kehadiran orang lain dari kelompok tertentu kadang dilihat sebagai ancaman. Dari sinilah cikal bakal munculnya konflik yang berujung pada tindakan kekerasan. Kekerasan ini tentu saja mencederai keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Artikel sederhana ini bertujuan untuk terus menggiatkan semangat solidaritas atau kesetiakawanan antara sesama ciptaan Tuhan. Semangat solidaritas ini tentu dibangun dari ketulusan yang membebaskan. Artinya, berbela rasa dengan orang yang paling membutuhkan pertolongan tanpa ada sikap pamrih pribadi. Tulisan ini juga diperuntukan bagi guru, orangtua dan peserta didik kelas Sepuluh sebagai bahan bacaan tambahan untuk materi pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan yang sederajat.
Foto oleh Saint Ariman dari Pexels |
Mengenal Tokoh Pejuang Kemanusiaan
Berhadapan dengan kenyataan perendahan harkat dan martabat manusia, tentu saja masih ada orang-orang yang dengan semangat yang teguh menampilkan diri sebagai pejuang kemanusiaan. Mereka yang sanggup menanggalkan ego pribadi dan mau hidup solider dengan orang-orang terlantar dan tidak berdaya. Mereka berani mempertaruhkan seluruh hidupnya bahkan ada yang terpaksa kehilangan nyawanya. Berikut ini merupakan beberapa tokoh dari dalam dan luar negeri yang berani memperjuangkan harkat dan martabat manusia. Mereka itu antara lain:
Mahatma Gandhi, seorang tokoh pejuang kemerdekaan bangsa India yang melawan aneka bentuk diskriminasi dan membentuk gerakan dengan nama ahimsa atau gerakan tanpa kekerasan. Ia adalah seorang penganut agama Hindu namun terbuka terhadap pemikiran Islam dan Kristen dan dia beranggapan bahwa manusia dari segala agama mempunyai hak dan kedudukan yang sama dan hidup bersama secara damai dalam suatu Negara. Akhirnya, ia dibunuh oleh seorang lelaki Hindu yang marah karena dia terlalu berpihak kepada orang muslim.
Mother Theresa, seorang biarawati Katolik Roma yang mendirikan Misionaris Cinta Kasih di Kalkuta, India. Selama Empat Puluh Lima tahun ia melayani orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat. Ia terkenal di dunia internasional untuk pekerjaan kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang miskin dan tak berdaya.
Y.B. Mangunwijaya, seorang tokoh agama yang peduli terhadap nasib rakyat kecil yang tertindas akibat penggusuran. Atas perjuangannya ini, ia menghadapi kecurigaan orang-orang yang menuduhnya sebagai upaya kristenisasi. Ia juga memperhatikan pendidikan dasar anak-anak dari keluarga tidak mampu. Ia juga bersuara lantang memprotes kesewenang-wenangan pemerintahan Orde Baru.
Munir Said Thalib, seorang aktivis dan pejuang Hak Asasi Manusia Indonesia. Namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik, yang terjadi pada masa akhir pemerintahan rezim Orde Baru di Indonesia. Ia akhirnya dibunuh dengan cara diracun dalam penerbangan menuju Amsterdam.
Semangat yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh di atas adalah semangat kasih persaudaraan, sebuah kasih yang lintas batas. Mereka sanggup manampilkan wajah manusia yang universal bahwasannya manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Dan bahwa keluhuran manusia tidak ditentukan etnik, budaya dan agama sekalipun. Keluhuran manusia dinilai dari hakikatnya atau kodratnya sebagai manusia.
Keberanian untuk menyuarakan kebenaran universal yang diikuti dengan pembelaan terhadap sesama manusia yang menjadi korban kekerasan kelompok atau rezim tertentu, bukanlah pekerjaan yang di bilang enteng. Sebab tantangan akan selalu datang dari kelompok yang merasa terusik dan ingin melanggengkan kekuasaan. Adanya tantangan ini tentu bukanlah menjadi akhir dari perjuangan. Sebab jiwa kebenaran akan selalu hidup dalam hati sanubari pencinta kebenaran.
Selain keempat tokoh-tokoh di atas, tentu masih banyak tokoh lain yang memiliki pengaruh luas terutama dalam upaya pembelaan terhadap harkat dan martabat manusia. Hal ini mau menunjukkan bahwa walaupun ada banyak peristiwa yang merendahkan keluhuran martabat manusia tetapi masih ada juga tokoh yang berjuang menembus sekat-sekat perbedaan guna mengangkat nilai-nilai kemanusiaan, walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Ajaran Kitab Suci tentang Kasih yang Lintas Batas
Setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi pelaku utama dalam mempraktekan cara hidup yang menghargai harkat dan martabat manusia. Mempraktekan cara hidup seperti ini tentu tanpa syarat dan lintas batas, artinya tidak membeda-bedakan asal-usul, agama, budaya, status sosial seseorang. Manghargai harkat dan martabat manusia sama artinya memperlakukan orang lain sebagai saudara, sesama ciptaan ciptaan Tuhan yang sederajat.
Untuk mendapat penjelasan dan pemahaman yang lebih dalam tentang hal ini, baiklah menyimak terlebih dahulu bacaan Kitab Suci dari Injil Lukas 10: 25-37 tentang: “Orang Samaria Yang Murah Hati” berikut ini:
Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya:“Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kau baca di sana?” Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenapakal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?” Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.”Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Setelah membaca kutipan teks Kitab Suci di atas, dapat ditarik beberapa pokok pikiran yang bisa menjelaskan tentang kasih persaudaraan yang lintas batas dan tanpa syarat.
Mengasihi Allah
Manusia dipanggil untuk mengasihi Allah sebagai pencipta dan penyelenggara kehidupan. Berdasarkan iman kristiani, sejak awal mula Allah sangat mengasihi manusia.Meski demikian manusia seringkali mengabaikan kasih Allah itu dalam hidupnya. Manusia tidak mengindahkan perintah-perintah Allah dan tidak menjauhi semua laranganNya. Walau manusia sering berpaling dari kasih Allah namun Allah tetap mengasihi manusia dan ingin memulihkan hubungan dengan manusia melalui korban Salib Yesus PuteraNya. Bahkan dalam diri Yesus Kristus manusia disapa sebagai sahabat. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
Kasih yang sama juga ditanamkan Tuhan ke dalam diri manusia. Manusia pun disebut juga sebagai citra Allah. Dengan demikian manusia memiliki martabat sebagai pribadi, artinya ia bukan hanya sesuatu melainkan seseorang, ia mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas diri sendiri, mengabdikan diri dalam kebebasan, dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, dan dipanggil membangun relasi dengan Allah, pencipta-Nya (bdk Katekismus Gereja Katolik No. 357).
Allah menciptakan segala sesuatu untuk manusia tetapi manusia itu sendiri diciptakan untuk melayani Allah. Dari sini bisa dikatakan bahwa tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengasihi Allah. Mengasihi Allah harus dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan dan segenap akal budi. Mengasihi Allah menuntut totalitas diri. Salah satu wujud konkrit mengasihi Allah ialah menghadirkan atau mengundang Allah untuk selalu terlibat dalam setiap usaha dan karya, baik itu karya demi kepentingan diri sendiri maupun usaha untuk kepentingan orang lain.
Mengasihi Sesama seperti Mengasihi Diri sendiri,
mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, tergolong perintah yang paling sulit. Namun bukan berarti hal itu tidak dapat dilakukan. Mengasihi sesama itu ada ukuran atau takarannya, yakni mengasihi seperti mengasihi diri sendiri. Sesama dilihat sebagai saudara, dan bahwa umat manusia merupakan satu kesatuan karena asal yang sama. Karena Allah “menjadikan dari satu orang saja semua bangsa dan umat manusia” (bandingkan Kisah Para Rasul 17:26).
Orang Samaria dalam bacaan Kitab Suci di atas telah menunjukkan sebuah perbuatan kasih yang sanggup melihat sesamanya yang tidak berdaya sebagai saudara. Rasa persaudaraan yang dibangunnya lintas batas, menembus sekat-sekat pembatas berwujud etnik, kebudayaan, agama dan kepercayaan. Inilah yang disebut sebagai persaudaraan sejati.
Persaudaraan sejati ini dihayati atas dasar persamaan kodrat sebagai sesama ciptaan Tuhan dan sebagai Citra Allah. Persaudaraan ini tidak membedakan orang berdasarkan agama, suku, ras, ataupun golongan, karena semua manusia adalah sama-sama umat Tuhan dan sama-sama dikasihi Tuhan. Maka setiap orang yang membenci sesamanya, sesungguhnya ia membenci Tuhan yang adalah kasih itu sendiri.
Kesimpulan
Manusia memiliki karakter pribadi yang berbeda-beda. Meskipun demikian, manusia sesungguhnya mempunyai kesatuan asal yang sama yakni dari Allah sebagai wujud tertinggi. Atas dasar inilah maka manusia wajib melihat sesamanya sebagai saudara. Jika demikian maka manusia sudah seharusnya saling mengasihi. Kasih yang dibangun haruslah kasih yang lintas batas. Kasih yang lintas batas ini pasti akan menuai banyak tantangan. Namun tantangan bukan untuk dihindari. Tantangan harus dihadapi dengan keberanian yang tulus dan yang pasti tanpa kekerasan.
0 Response to "Kasih Itu Lintas Batas"
Posting Komentar